Latest Posts:

Momok itu Bernama Futur!


“Setiap amal itu ada masa semangatnya, dan pada setiap masa semangat itu ada masa futur (bosan). Barangsiapa yang ketika futur tetap berpegang kepada sunnahku, maka sesungguhnya ia telah memperoleh petunjuk dan barangsiapa yang ketika futur berpegang kepada selain sunnahku, maka sesungguhnya ia telah tersesat.” (HR Al Bazaar)

Sobat muda, berdasarkan hadits tersebut setiap kita akan mengalami ujian ini, yakni masa futur. Nah, upaya apa yang bisa kita lakkan agar kita bisa tetap kokoh di atas sunnah Rasulullah? Berikut ulasannya.

1. Mengingat hakikat penciptaan kita


Kita semua mengetahui bahwa tujuan diciptakannya kita adalah agar beribadah kepada Allah saja. (QS. Adz-Dzariyat:56). Maka di saat gejala futur itu datang, segeralah sadar dan ingat akan tujuan kehidupan kita. Kita hidup di dunia ini bukan hanya sekadar berfoya-foya, bermain dan seabrek perkara yang tiada guna lainnya. Bukan pula untuk luntang-lantung membuang waktu tanpa ada manfaatnya. Bukan pula membayangkan berbagai macam fantasi yang melenakan!.
Sadarlah, bangkitlah! Beramallah dan bersungguh-sungguhlah! Sampai kapan dirimu akan terus tertipu? Tujuan hidup seorang pemuda Islam itulah hobinya dan hobinya itulah tujuan hidupnya. Renungkanlah kalimat ini baik-baik, semoga hal ini akan menggugah kembali semangatmu.
Pemuda salaf dahulu kegemaran mereka adalah menimba ilmu, mengumpulkan hadits, berdakwah, meninggikan kalimat Allah, puasa di siang hari dan sholat di malam hari. Cita-cita mereka masuk ke dalam surga yang luasnya seluas langit dan bumi.

2. Jangan Meninggalkan Majelis ilmu


“Manusia lebih membutuhkan ilmu agama daripada roti dan air minum. Karena manusia butuh kepada ilmu agama setiap waktu, sedangkan mereka membutuhkan roti dan air hanya sekali atau dua kali dalam sehari” (Thabaqat Al Hanabilah, 1/390)

Kita perlu bercermin kepada para ulama salaf, yang telah memberi contoh terbaik dan teladan yang agung tentang bagaimana bersemangat dalam menuntut ilmu agama, meraihnya serta rindu kepadanya. Marilah wahai saudaraku tercinta, kita simak bagaimana mereka menuntut ilmu dan renungkanlah dimana kita dibanding mereka?

Abu Ad Darda radhiallahu’ahu mengatakan. “seandainya saya mendapatkan satu ayat dari Al Qur’an yang tidak saya pahami dan tidak ada seorang pun yang bisa mengajarkannya kecuali orang yang berada di Barkul Ghamad (yang jaraknya 5 malam perjalanan dari Mekkah), niscaya aku akan menjumpainya”. Sa’id bin Al Musayyab juga mengatakan, “saya terbiasa melakukan rihlah berhari-hari untuk mendapatkan satu hadits” (Al Bidayah Wan Nihayah, Ibnu Katsir, 9/100).

Imam Baqi bin Makhlad melakukan rihlah dua kali: dari Mesir ke Syam (sekitar Suriah) dan dari Hijaz (sekitar Mekkah) ke Baghdad (Irak) untuk menuntut ilmu agama. Rihlah pertama selama 14 tahun dan yang kedua selama 20 tahun berturut-turut (Tadzkiratul Huffadz, 2/630).
Khalaf bin Hisyam Al Asadi berkata, “saya mendapatkan kesulitan dalam salah satu bab di kitab Nahwu. Maka saya mengeluarkan 80.000 dirham hingga saya bisa menguasainya” (Ma’rifatul Qurra’ Al Kibar, Adz Dzahabi, 1/209)

Ayah dari Yahya bin Ma’in adalah seorang sekretaris Abdullah bin Malik. Ketika wafat, beliau meninggalkan 100.000 dirham untuk Yahya. Namun Yahya bin Ma’in membelanjakan semuanya untuk belajar hadits, tidak ada yang tersisa kecuali sandal yang bisa ia pakai (Tahdzibut Tahdzib, Ibnu Hajar, 11/282)

Ali bin Ashim bercerita, “ayahku memberiku 100.000 dirham dan berkata kepadaku: ‘pergilah (untuk belajar hadits) dan saya tidak mau melihat wajahmu kecuali kamu pulang membawa 100.000 hadits’” (Tadzkiratul Huffadz, Adz Dzahabi, 1/317).
Demikianlah para ulama kita. Walaupun kita tidak bisa seperti semangatnya para ulama, setidaknya mendekati mereka.

3. Jangan menunda-nunda amalan sholeh


Di antara perkara yang akan semakin membuat kita larut dalam futur  adalah menunda amalan dan membiarkan diri dalam kelengahan. Suka menunda amalan adalah perkara yang akan memporak-porandakan segala urusan.
Sebagaimana pepatah mengatakan, “Waktu itu Ibarat pedang, jika tidak kau gunakan menebas maka ia yang akan menebasmu.”
Sobat, berhati-hatilah engkau dari menunda-nunda amalan dan jangan sampai hal itu menjadi kepribadianmu. Sungguh sifat ini perangkap-perangkap setan. Jangan engkau semai sifat ini dalam dirimu, karena ia akan menumbuhkan rasa malas dan membuahkan penyesalan. Bangkitlah wahai sobat!  Bangunlah dari tidurmu! Sadarlah dari kelengahanmu!


4. Membaca biografi orang-orang sholeh


Di antara perkara yang akan menggugah semangat kita dan diharapkan setelahnya akan bisa melepaskan diri dari masa futur adalah dengan membaca biografi para pendahulu kita dari kalangan sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Jika kita mau menengok generasi awal umat ini kita akan dapati bahwa mayoritas para sahabat Rasul adalah para pemuda. Sebutlah misalnya ‘Ali bin abi thalib, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, Usamah bin Zaid, Anas bin Malik dan masih banyak lagi.

Masing-masing mereka telah menorehkan tinta emas dalam lembaran sejarah kaum muslimin, Hatikita akan berdecak kagum saat membaca lembar demi lembar perjalanan hidup mereka. Dari pengorbanan mereka kepada Allah dan Rasulnya, semangat mereka dalam menimba ilmu agama, sikap patriot mereka di medan laga, akhlak mereka alam mengutamakan saudaranya, hingga ibadah mereka kepada Sang Pencipta.

5. Selektif Memilih Teman


Banyak orang yang terjerumus ke dalam lubang kemaksiatan dan kesesatan karena pengaruh teman bergaul yang jelek. Namun juga tidak sedikit orang yang mendapatkan hidayah dan banyak kebaikan disebabkan bergaul dengan teman-teman yang sholeh.

Dalam sebuah hadits Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang peran dan dampak seorang teman dalam sabda beliau :

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً ، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَة

“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628)
Jika kita tidak mendapatkan kebaikan-kebaikan di atas, masih ada manfaat lain yang penting jika berteman dengan orang yang shalih. Minimal diri kita akan tercegah dari perbuatan-perbuatan buruk dan maksiat. Teman yang shalih akan senantiasa menjaga dari maksiat, dan mengajak berlomba-lomba dalam kebaikan, serta meninggalkan kejelekan. Dia juga akan senantiasa menjagamu baik ketika bersamamu maupun tidak, dia juga akan memberimu manfaat dengan kecintaanya dan doanya kepadamu, baik ketika engkau masih hidup maupun setelah engkau tiada. Dia juga akan membantu menghilangkan kesulitanmu karena persahabatannya denganmu dan kecintaanya kepadamu. (Bahjatu Quluubil Abrar, 148)

Demikianlah sobat, di antara kiat-kiat kita menghadapi masa futur dan masih banyak lagi kita-kiat yang lain, semoga kita selalu dalam bimbingan Allah ‘azza wa jalla.
Wallahu a’lam, semoga bermanfaat.

~~

Majalah Tashfiyah Volume 04 Tahun 2014 M
Penulis: Abu 'Afifah Syafii bin Shalih Al Idrusi (dengan penambahan dan pengurangan yang seperlunya)

Share on Google Plus

Tentang RumahRohis

Rumahrohis.com adalah Website yang mewadahi informasi kegiatan FK2PI dan Rohis binaan kegiatan keislaman.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar